Gakumon no Susume Untuk Kemuliaan Indonesia
Ageng Triyono - Resensi Buku
Gakumon no Susume atau jika kita terjemahkan bebas akan semakna dengan kalimat dorongan
untuk belajar, yang mana merupakan judul buku dengan tahun terbit 1882 M. Tercetak
600.000 eksemplar tergolong angka penjualan yang fantastis pada jamannya. Sang
penuslis, Fukuzawa Yukichi yang hidup dijaman Meiji lalu dikenang sebagai Bapak
Pendidikan Negeri Sakura hingga sekarang.
Gakumon no Susume |
Sebagaimana dikutip oleh Wikipedia, bahwasanya anak-anak sekolah pada
masanya amat mengenali kalimat pembuka dari buku itu. “Langit tidak menciptakan
seseorang dengan harkat di atas atau di bawah orang lain”, demikian tulis
Fukuzawa sebelum mengajak pembacanya menelaah lebih mendalam isi dari
halaman-halaman bukunya tersebut. Kalimat
itu semakin terpatri dalam ingatan kolektif anak-anak Jepang dan menjadi sebuah
doktrin mengenai pentingnya pendidikan, termasuk menjadi ajaran yang ikut mengilhami
bangkitnya restorasi Meiji, bahkan selanjutnya dianggap sebagai pandangan hidup
orang Jepang pada umumnya.
Terlepas dari seluruh latar belakang kita sebagai sebuah bangsa,
kiranya kita pun bisa memandang ajaran Fukuzawa sebagai sesuatu yang baik. Kedudukan
manusia dalam suatu negara salah satunya harus lah ditentukan oleh status
pendidikannya, dan bukan oleh nilai-nilai yang dibawa sejak lahir sebagai
warisan. Kita pun bisa memandangnya sebagi sebuah filosofi yang memanusiakan
manusia, bahwasannya salah satu alat ukur nilai kemanusiaan adalah kapasitas
intelektualnya, bukan harta dan darah biru nenek moyangnya. Saya kira anda pun
akan setuju dengan pendapat ini.
Dalam kontek keagamaan, Islam sebagai agama yang fitrah juga telah mengajarkan
umatnya untuk memberikan penghormatan kepada orang-orang yang berilmu
pengetahuan;
“... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...”(QS. Al-Mujadilah:11).
Tanpa melihat asal-usul nasab keturunannya, sejak Islam lahir memang telah mengajarkan bahwasannya nilai diri
seseorang terletak pada ilmu, amal
shalih, dan tingkat kemanfaatan dari perilaku umatnya sehari-hari.
Sejarah lslam pun telah mencatat begitu banyak tokoh yang dengan latar
belakang penuh keterbatasan dan tanpa aliran darah biru kebangsawanan, namun
tingkat keilmuannya menjadikannya sangat berpengaruh bagi perkembangan sejarah
berikutnya. Ibnu Khaldun adalah sebuah miniatur seorang muslim yang lebih
mengedepankan pengetahuannya untuk menjadikan pribadinya berpengaruh di dunia.
Beliau bukanlah putra dari orang berharta dan juga jauh dari pusat kekuasaan,
namun melalui Muqadimah-nya yang kini
menjadi rujukan dasar ketatanegaraan di sebagian besar negara di dunia, membuat
nama beliau begitu masyhur.
Inilah sebuah bukti bahwa ilmu pengetahuan bisa
mengharumkan nama bagi yang memilikinya. Itulah sebabnya Islam menggunakan
parameter pengetahuan sebagai salah satu indikator kemuliaan seseorang.
Bukanlah tampilan fisik ataupun keturunan. Karena tentunya jika manusia hanya dihargai dari busana dan
aksesoris yang dikenakannya, atau karena elok wajahnya, tanpa mempertimbangkan
kualitas hati dan pemikirannya, maka sungguh rendah penghargaan terhadap manusia
itu. Seperti apa yang digambarkan oleh Jalaluddin Rumi:
“Jasad manusia dimuliakan jiwanya dan baju bagus ini bukan tanda kemanusiaan. Bila manusia dikenal melalui mata, hidung, bibir dan telinganya, apa beda gambar dinding dengan manusia.”
Bangsa Jepang, meskipun mungkin tanpa sadar, melalui ajaran gakumon no susume sesungguhnya telah menginternalisasi
salah satu nilai Islam akan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan. Kini mereka
telah mampu membuktikan kepada dunia sebagai bangsa yang memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi maju, sehingga dapat disejajarkan dengan Amerika dan
negara maju lainnya.
Bukankah mereka pernah hancur lebur dalam skala negara? Lalu pertanyaan
kita adalah; ”Kapan negeri yang telah
memperingati hari kebangkitan nasionalnya lebih dari ke-100 kalinya ini akan
membangkitkan kekuatan ilmu pengetahuannya? Sungguh, kita telah dikarunia Tuhan
dengan posisi geografis yang strategis dan membuat iri dunia. Akan tetapi,
tanpa keseriusan negara dalam mencerdakan kehidupan bangsa, saya rasa negeri
yang dilewati garis khatulistiwa ini dan
menjadi persimpangan dua benua, sekaligus sebagai negeri terbesar ke empat di
muka bumi, mungkin keberadaannya di peta dunia akan dipandang bangsa lain
sebagai suatu kebetulan belaka!
Oleh: Ageng Triyono
Editor: Deany Januarta Putra
Belum ada Komentar untuk "Gakumon no Susume Untuk Kemuliaan Indonesia"
Posting Komentar