Presiden: Berapa Jumlah Guru Honorer yang Belum Sejahtera?
Ageng Triyono - Pemikiran, Pendidikan
Guru Honorer: Tugas Luhur Tanpa Jaminan Makmur |
Bangsa jepang telah lama meyakini akan kekuatan hasil pendidikan.
Mereka telah sepakat, andai di dalam perut bumi yang gelap pekat terkandung
emas, perak, tembaga, perunggu, nikel, besi dan lumpur sampai dengan gas
beracunnya, pastilah pandangan utamanya tetap tertuju pada emas. Dan kini
realitas dunia pun telah bersepakat, bahwa sektor pendidikan lebih utama dari
yang lain. Sektor pendidikan adalah emas yang harus dijadikan pandangan utama
sehingga para guru menjadi yang paling utama untuk diamankan.
Keyakinan itu yang mendorong Jepang start lebih awal. Untuk membangun Jepang
yang modern mereka memulai tancap “gigi pertama” kerja-kerja peradabannya dipertengahan
abad 19. Artinya jauh hari sebelum dihantam bom atom, Jepang yang dikenal
dengan bunga sakuranya sudah melakukan sebuah kebijakan drastis antara kurun
1866 M sampai 1869 M. Mereka memanfaatkan rentang tiga tahun, yaitu akhir Zaman
Edo dan awal Zaman Meiji untuk sebuah perubahan. Dalam rentang waktu yang cukup
singkat itu jepang berhasil meletakkan dasar restorasi, yakni sebuah pembaruan
untuk perubahan mendasar secara total.
Meiji Ishin atau kita mengenalnya dengan istilah restorasi Meiji adalah
suatu rangkaian usaha besar-besaran kaisar Meiji untuk menciptakan Jepang baru,
mentransformasi diri dari negeri terisolasi dan miskin menjadi negeri yang
penuh percaya diri. Dan yang terpenting restorasi itu diterapkan pada bidang
pendidikan. Mereka menyadari bahwasanya
bidang pendidikan akan berdampak sangat luas bagi kemajuan bangsa Jepang
selanjutnya.
Pendidikan yang sebelumnya dikenal dengan sebutan terakoya atau sekolah kuil, yaitu sebuah
pendidikan yang didasarkan atas sistem masyarakat feodal bagi rakyat jelata, kemudian dirubah total dengan
mulai menaikkan anggaran pendidikannya secara signifikan. Diprogramkannya wajib
belajar, kemudian menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku ilmu pengetahuan,
sastra, maupun filsafat.
Para pemuda dikirim ke luar negeri untuk belajar
sesuai dengan bidangnya masing-masing terutama ke Perancis dan Jerman.
Tujuannya jelas yaitu untuk membangun
basis keilmuan dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang dapat setara dengan kemajuan dunia Barat. Dan
dunia kini bisa menyaksikan, bahwa Jepang
telah matang dan menjadi kekuatan gemilang yang amat diperhitungkan.
Menyimak keberhasilan pembangunan yang digagas bangsa Jepang di atas
mestinya membuat kita tergugah sebagai bangsa. Mengapa bangsa Indonesia belum
bisa menyamainya. Padahal kurang lebih ditahun yang sama kita merdeka dan
disaat itu pula Jepang sedang berduka. Mungkinkah karna kita belum memuliakan
guru-guru kita? Lantas kemana 20% anggaran pemerintah untuk sektor pendidikan
itu mengalir? Untuk siapa sesungguhnya?
Mungkin Ki Hajar Dewantara akan menangis tersedu-sedu jika hari ini
ikut membaca berita, bahwa ada guru honorer yang memutuskan tinggal di samping
kamar WC sekolah karna memang tak punya rumah. Apalagi tentunya kita akan
mendapati lebih banyak lagi cerita yang kian terasa menyayat hati jika hendak menyusuri kehidupan para guru
kasta honorer ini. Mereka melaksanakan tugas luhur, namun belum dimuliakan oleh
kebijakan yang memakmurkan. Tentu terlalu jauh jika berharap pemimpin republik
ini akan bertanya selayaknya Kaisar Hirohito. Cukuplah Pak Presiden bertanya;
“Berapa jumlah guru honorer kita yang minta nomor induk kepegawaian?, sungguh
ini sudah bisa melegakan mereka.
Oleh: Ageng Triyono
Editor: Akhmad Saikuddin
Belum ada Komentar untuk "Presiden: Berapa Jumlah Guru Honorer yang Belum Sejahtera?"
Posting Komentar