Mencetak Generasi Tangguh Seperti Muhammad Al-Fatih

Ageng Triyono - Pemikiran, Pendidikan

Haidunia.com - Sudah menjadi hal musiman jika promosi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dilakukan oleh sekolah-sekolah akan mengobral program-program unggulannya. Tentu kita semua tidak perlu mempersoalkan hal ini. Toh, semua sekolah bisa menawarkan program unggulannya masing-masing secara bijak tanpa harus saling sikut untuk berebut bakal muridnya. Bagi orang tua yang hendak memilihkan tempat pendidikan bagi anak-anaknya, manakah faktor yang dominan sebagai bahan pertimbangan; fasilitas sekolah, program unggulannya, atau background & kapasitas para gurunya?
Mencetak Generasi Tangguh Seperti Al Fatih


Pertanyaan di atas tidak harus kita jawab sekarang. Pada dasarnya murid yang direkrut atau memasuki sebuah sekolah adalah seorang anak manusia titipan Sang Pencipta agar dididik sebaik mungkin. Selanjutnya, mau dibentuk jadi apa anak-anak yang sudah terlanjur diserahkan oleh orang tuanya itu? Dalam perspektif kita sebagai muslim, anak-anak itu harus dididik sampai tumbuh menjadi sosok yang sesuai dengan tujuan penciptaan. Cara pandang ini sudah semestinya dimaknai oleh para guru sebagai tugas suci untuk meng-gembleng anak didiknya, sampai kelak pribadi mereka dinyatakan pantas menjadi khalifah atau pemimpin-pemimpin di muka bumi. Tentu pengetian pemimpin yang dimaksud disini dimensinya luas. Juga perlu dipahami bersama oleh para guru bahwa setiap murid memiliki kesempatan yang sama untuk memetik takdirnya sebagai calon pemimpin di masa depan.

Bagaimana kemudian cara guru untuk mewujudkan anak didiknya menjadi pemimpin yang diharapkan di masa depan? Untuk menjawab pertanyaan ini, perkenankan saya untuk membawakan kisah yang masyhur. Yaitu kisah seorang guru yang amat tulus dan ulet, tiada hentinya beliau terus memotivasi anak didiknya agar berhasil membebaskan Konstantinopel. Ya, muridnya bernama Sultan Muhamamd Al-Fatih, sedang gurunya bernama Syaikh Syamsuddin yang berpartner dengan Syeikh Muhammad Ismail Al-Qurani.


Kedudukan Konstatinopel kala itu adalah kota terbesar nan indah yang membuat banyak hati para pengusa kepincut untuk mencari cara bagaimana menguasainya. Orang-orang awam pun berkeinginan hati berkunjung kesana jika mendengar nama kota itu. Maka, siapa pun yang berhasil menguasai pada masanya, bisa dipastikan ia pantas disebut sebagai pemimpin dunia.

Sebuah kabar gembira disampaikan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada para sahabatnnya radhiyallahu anhum, yakni tentang akan di taklukannya Konstantinopel pada suatu hari oleh kaum muslimin. Lebih tepatnya hal itu beliau wasiatkan pada momentum Perang Khandaq. Beliau berwasiat; ”Sungguh, Konstantinopel akan di taklukan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya. Dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.”(HR. Ahmad)  

Adalah seorang guru bernama Muhammad Bin Hamzah Ad-Dimasyqi Ar-Rumi, atau  lebih terkenal dengan nama Syaikh Syamsuddin rahimahullah, beliaulah yang menyampaikan wasiat itu kepada sosok Sultan Muhammad Al Fatih muda. Beliau yang wafat pada 863 H konon secara rutin mengulang-ngulang kabar gembira penaklukan Konstantinopel di hadapan Al Fatih. Sebagai guru beliau terus memotivasi seraya meyakinkan bahwa pemimpin yang dimaksud adalah dirinya. Serta sebaik-baik pasukan adalah pasukannya. Sehingga akhirnya Al Fatih berkeyakinan kuat untuk membuktikan nubuwah dari Rasulullah. Dan sebagaimana kebenaran sejarah yang telah kita dengar bersama, Allah pun membantu Al Fatih untuk meraih kemenangan demi menegakkan agama Allah di muka bumi. Dan konstantinopel pun berhasil ditundukan oleh kaum muslimin pada 29 Mei 1453 M. 

Pendidikan macam apa yang kiranya diberikan kepada Sang Penakluk Konstantinopel oleh Sang Guru? Mari kita ulas dari mulai apa yang dilakukan oleh Syeikh Muhammad Ismail Al-Qurani. Pertama, beliau menyadiri bahwa Al Fatih adalah anak raja, hidupnya berkemewahan, cenderung manja dan memiliki bibit bengal. Maka diawal pertemuan beliau menujukkan sikat tegasnya. Kisahnya adalah saat beliau menyampaikan pesan dari ayah Sang Pangeran, yang mana diperkenankannya beliau untuk memukul Al Fatih jika didapati melanggar perintah. Namun Al Fatih hanya tertawa mendengar itu, maka Syeikh Qurani benar-benar memukulkan cambuknya sekeras-kerasnya di hadapan Al Fatih dan para pangeran yang sedang ikut belajar bersama. 

Al fatih dan sebayanya pun takluk. Cambukkan ketegasan Sang Guru efektif meluluhkan mereka. Al Fatih tunduk, dan  menjadi pribadi yang menghargai ilmu serta menghormati guru. Sikap tegas dan keras sering dipertontonkan Sang Guru dan lakukan sekaligus agar bisa mereduksi sifat manjanya. Kedua, spiritualitas Al Fatih ditempa sangat kuat agar memiliki kedekatan pada Sang Pencipta. Ia didisiplinkan oleh gurunya untuk setor amal harian. Mulai dari sholat malam, subuh berjamaah, puasa sunah, sholat rawatib dan membaca Al Quran. Salah satu buah kedisiplinannya adalah saat Al Fatih menghatamkan hafalan Al Qurannya sebelum ulang tahun usianya yang ke-8.

Pelajaran selanjutnya diberikan oleh Syeikh Syamsuddin  kepada Sultan ke-7 Daulah Ustmaniyah itu. Mengikuti konsep pendidikan Al Ghozali, Sang Guru terlebih dahulu mengajarkan ilmu yang fardhu ‘ain ketimbang yang fardhu kifayah. Dasar-dasar ketauhidan Al Fatih dididik melalui pembelajaran ilmu hadits dan fiqh. Setelahnya barulah diajarkan berbagai macam bahasa, yang mana Al Fatih berhasil menguasai 6 bahasa dengan baik. Tentunya strategi perang juga diajarkan pada kesempatan lain melalui model pembelajaran kolaboratif, yakni Al Fatih diajar bersama oleh Syeikh Samsyuddin dan salah seorang panglima perang ayahnya. Ibarat kata, satu kelas diajar sekaligus oleh dua guru. Semua proses pendidikan yang dijalani Al Fatih berhasil membentuk karakternya yang tegas, berkemauan kuat, dan sekaligus penyabar.

Jika diperhatikan, kurikulum yang dijalankan Sang Guru memang dirancang sesuai kebutuhan masa depannya. Masa depan muridnya adalah membebaskan Konstantinopel. Sehingga lulusan darinya sudah otomatis memiliki tekad memimpin langsung pasukan.

Atas pertolongan Allah akhirnya Konstantinopel bisa ditaklukan kaum muslimin, yang kemudian diganti menjadi Islam bul, yang artinya dar al-Islam atau rumah Islam, yang kemudian dalam penyebutannya bergeser menjadi “Istambul”. Pada perjalannya, Istambul kemudian menjadi Ibu Kota Turki Utsmani. Sebelum keruntuhannya pada 1924 M, Khilafah Ustmaniyah terus bercahaya dan mempunyai pengaruh besar bagi politik internasional sampai abad 16 M, dan pada masa jayanya merupakan cerminan kekuatan Islam sebagai negara terkuat di Eropa secara kesuluruhan, bahkan di seluruh dunia. 

Sepotong kisah Sultan Al Fatih dan gurunya di atas adalah cerita riil bahwa orang-orang besar selalu memiliki sosok guru yang setidaknya ikut membesarkannya. Hal ini juga telah dilalui oleh orang-orang besar pada abad-abad yang lalu. Dan semua tahu, bahwa untuk menjadi pribadi yang besar ada proses yang harus dilalui dalam rentang waktu yang tak sebentar. Namun tempaan harus dimulai dari semenjak kecil. Dari kita merangkak dengan dipenuhi ketidaktahuan, sampai kemudian berubah menjadi manusia dengan tipe yang lain. Demikian seharusnya proses pendidikan itu berjalan.

Oleh: Ageng Triyono
Editor: Deany Januarta Putra

Mau berlangganan artikel terbaru dari HaiDunia.Com ? Silahkan masukkan email kamu dibawah ini ya:

Belum ada Komentar untuk "Mencetak Generasi Tangguh Seperti Muhammad Al-Fatih"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel