Mencetak Generasi Tangguh Seperti Muhammad Al-Fatih
Ageng Triyono -
Pemikiran, Pendidikan
Editor: Deany Januarta Putra
Haidunia.com - Sudah
menjadi hal musiman jika promosi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang
dilakukan oleh sekolah-sekolah akan mengobral program-program unggulannya.
Tentu kita semua tidak perlu mempersoalkan hal ini. Toh, semua sekolah bisa
menawarkan program unggulannya masing-masing secara bijak tanpa harus saling
sikut untuk berebut bakal muridnya. Bagi orang tua yang hendak memilihkan
tempat pendidikan bagi anak-anaknya, manakah faktor yang dominan sebagai bahan
pertimbangan; fasilitas sekolah, program unggulannya, atau background & kapasitas para gurunya?
Mencetak Generasi Tangguh Seperti Al Fatih |
Pertanyaan di atas tidak harus kita jawab sekarang. Pada dasarnya murid
yang direkrut atau memasuki sebuah sekolah adalah seorang anak manusia titipan
Sang Pencipta agar dididik sebaik mungkin. Selanjutnya, mau dibentuk jadi apa
anak-anak yang sudah terlanjur diserahkan oleh orang tuanya itu? Dalam
perspektif kita sebagai muslim, anak-anak itu harus dididik sampai tumbuh
menjadi sosok yang sesuai dengan tujuan penciptaan. Cara pandang ini sudah
semestinya dimaknai oleh para guru sebagai tugas suci untuk meng-gembleng anak
didiknya, sampai kelak pribadi mereka dinyatakan pantas menjadi khalifah atau
pemimpin-pemimpin di muka bumi. Tentu pengetian pemimpin yang dimaksud disini
dimensinya luas. Juga perlu dipahami bersama oleh para guru bahwa setiap murid
memiliki kesempatan yang sama untuk memetik takdirnya sebagai calon pemimpin di
masa depan.
Bagaimana kemudian cara guru untuk mewujudkan anak didiknya menjadi
pemimpin yang diharapkan di masa depan? Untuk menjawab pertanyaan ini,
perkenankan saya untuk membawakan kisah yang masyhur. Yaitu kisah seorang guru
yang amat tulus dan ulet, tiada hentinya beliau terus memotivasi anak didiknya
agar berhasil membebaskan Konstantinopel. Ya, muridnya bernama Sultan Muhamamd
Al-Fatih, sedang gurunya bernama Syaikh Syamsuddin yang berpartner dengan
Syeikh Muhammad Ismail Al-Qurani.
Kedudukan Konstatinopel kala itu adalah kota terbesar nan indah yang
membuat banyak hati para pengusa kepincut untuk mencari cara bagaimana
menguasainya. Orang-orang awam pun berkeinginan hati berkunjung kesana jika
mendengar nama kota itu. Maka, siapa pun yang berhasil menguasai pada masanya,
bisa dipastikan ia pantas disebut sebagai pemimpin dunia.
Sebuah kabar gembira disampaikan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam kepada para sahabatnnya radhiyallahu anhum, yakni
tentang akan di taklukannya Konstantinopel pada suatu hari
oleh kaum muslimin. Lebih tepatnya hal itu beliau wasiatkan pada momentum
Perang Khandaq. Beliau berwasiat; ”Sungguh, Konstantinopel akan di taklukan.
Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya. Dan sebaik-baik pasukan adalah
pasukan itu.”(HR. Ahmad)
Adalah seorang guru bernama Muhammad Bin Hamzah Ad-Dimasyqi Ar-Rumi, atau
lebih terkenal dengan nama Syaikh Syamsuddin rahimahullah, beliaulah
yang menyampaikan wasiat itu kepada sosok Sultan Muhammad Al Fatih muda. Beliau
yang wafat pada 863 H konon secara rutin mengulang-ngulang kabar gembira
penaklukan Konstantinopel di hadapan Al Fatih. Sebagai guru beliau terus
memotivasi seraya meyakinkan bahwa pemimpin yang dimaksud adalah dirinya. Serta
sebaik-baik pasukan adalah pasukannya. Sehingga akhirnya Al Fatih berkeyakinan
kuat untuk membuktikan nubuwah dari Rasulullah. Dan
sebagaimana kebenaran sejarah yang telah kita dengar bersama, Allah pun
membantu Al Fatih untuk meraih kemenangan demi menegakkan agama Allah di muka
bumi. Dan konstantinopel pun berhasil ditundukan oleh kaum muslimin pada 29
Mei 1453 M.
Pendidikan macam apa yang kiranya diberikan kepada Sang Penakluk
Konstantinopel oleh Sang Guru? Mari kita ulas dari mulai apa yang dilakukan
oleh Syeikh Muhammad Ismail Al-Qurani. Pertama, beliau menyadiri bahwa Al Fatih
adalah anak raja, hidupnya berkemewahan, cenderung manja dan memiliki bibit
bengal. Maka diawal pertemuan beliau menujukkan sikat tegasnya. Kisahnya adalah
saat beliau menyampaikan pesan dari ayah Sang Pangeran, yang mana
diperkenankannya beliau untuk memukul Al Fatih jika didapati melanggar
perintah. Namun Al Fatih hanya tertawa mendengar itu, maka Syeikh Qurani
benar-benar memukulkan cambuknya sekeras-kerasnya di hadapan Al Fatih dan
para pangeran yang sedang ikut belajar bersama.
Al fatih dan sebayanya pun takluk. Cambukkan ketegasan Sang Guru efektif
meluluhkan mereka. Al Fatih tunduk, dan menjadi pribadi yang menghargai
ilmu serta menghormati guru. Sikap tegas dan keras sering dipertontonkan Sang
Guru dan lakukan sekaligus agar bisa mereduksi sifat
manjanya. Kedua,
spiritualitas Al Fatih ditempa sangat kuat agar memiliki kedekatan pada Sang
Pencipta. Ia didisiplinkan oleh gurunya untuk setor amal harian. Mulai dari
sholat malam, subuh berjamaah, puasa sunah, sholat rawatib dan membaca Al
Quran. Salah satu buah kedisiplinannya adalah saat Al Fatih menghatamkan
hafalan Al Qurannya sebelum ulang tahun usianya yang ke-8.
Pelajaran selanjutnya diberikan oleh Syeikh Syamsuddin kepada Sultan
ke-7 Daulah Ustmaniyah itu. Mengikuti konsep pendidikan Al Ghozali, Sang Guru
terlebih dahulu mengajarkan ilmu yang fardhu ‘ain ketimbang
yang fardhu kifayah. Dasar-dasar ketauhidan Al Fatih dididik
melalui pembelajaran ilmu hadits dan fiqh. Setelahnya barulah diajarkan
berbagai macam bahasa, yang mana Al Fatih berhasil menguasai 6 bahasa dengan
baik. Tentunya strategi perang juga diajarkan pada kesempatan lain melalui
model pembelajaran kolaboratif, yakni Al Fatih diajar bersama oleh Syeikh
Samsyuddin dan salah seorang panglima perang ayahnya. Ibarat kata, satu kelas
diajar sekaligus oleh dua guru. Semua proses pendidikan yang dijalani Al Fatih
berhasil membentuk karakternya yang tegas, berkemauan kuat, dan sekaligus
penyabar.
Jika diperhatikan, kurikulum yang dijalankan Sang Guru memang dirancang
sesuai kebutuhan masa depannya. Masa depan muridnya adalah membebaskan
Konstantinopel. Sehingga lulusan darinya sudah otomatis memiliki tekad memimpin
langsung pasukan.
Atas pertolongan Allah akhirnya Konstantinopel bisa ditaklukan kaum
muslimin, yang kemudian diganti menjadi Islam bul, yang
artinya dar al-Islam atau rumah Islam, yang kemudian dalam
penyebutannya bergeser menjadi “Istambul”. Pada perjalannya, Istambul kemudian
menjadi Ibu Kota Turki Utsmani. Sebelum keruntuhannya pada 1924 M, Khilafah
Ustmaniyah terus bercahaya dan mempunyai pengaruh besar bagi politik
internasional sampai abad 16 M, dan pada masa jayanya merupakan cerminan
kekuatan Islam sebagai negara terkuat di Eropa secara kesuluruhan, bahkan di
seluruh dunia.
Sepotong kisah Sultan Al Fatih dan gurunya di atas adalah cerita riil bahwa
orang-orang besar selalu memiliki sosok guru yang setidaknya ikut
membesarkannya. Hal ini juga telah dilalui oleh orang-orang besar pada
abad-abad yang lalu. Dan semua tahu, bahwa untuk menjadi pribadi yang besar ada
proses yang harus dilalui dalam rentang waktu yang tak sebentar. Namun tempaan
harus dimulai dari semenjak kecil. Dari kita merangkak dengan dipenuhi
ketidaktahuan, sampai kemudian berubah menjadi manusia dengan tipe yang lain.
Demikian seharusnya proses pendidikan itu berjalan.
Oleh: Ageng Triyono
Belum ada Komentar untuk "Mencetak Generasi Tangguh Seperti Muhammad Al-Fatih"
Posting Komentar