Antara Jalan Cita atau Sekedar Perantara
Rumaisha Putri - Pendidikan
haidunia.com “Minggu ini event di lapangan perumahan A, perumahan B...”
Khusyuk saya menyimak intruksi pelatih di klub voli. Walaupun tim
kami baru seumur jagung kisaran dua sampai tiga bulan, ternyata cukup dilirik
klub-klub veteran di kota ini. Apalagi setelah menang event Voli Putri antar
sekolah menengah pertama.
Selain karena pelatih yang punya cukup pengaruh di kalangan para
atlit voli profesional, juga dimodali semangat para remaja lugu seperti kami.
Cukup menjelaskan bahwa everything would be by strong passion.
sumber gambar : kumparan.com |
Lincah Pak Pelatih mendidik mental kami. Kesusahan dan tekanan
selama latihan justru terasa mengasyikkan bagi saya saat itu. Ibu saya ikut
senang karena makan saya menjadi lahap dan tidur teratur yang nyenyak. Terlebih
Ayah yang senang jika putrinya terdidik militan. Masa pertumbuhan jasmani dan
rohani saya menjadi lebih berkualitas dengan latihan rutin tersebut.
Olahraga mempertemukan saya dengan banyak orang baru dengan lingkup
lebih luas dari sebelumnya. Maklum, isi teman sekolah masih seputar tetangga,
teman SD, teman mengaji, dan teman-teman lokal lainnya. Bisa dibayangkan sosok
lugu seperti saya pasti kesenangan sekali.
Bertemu banyak orang membuat kita lebih rendah hati sebab dua hal.
Pertama, kesadaran bahwa selalu ada figur (apalagi jika sebaya) yang lebih
hebat. Kedua, kesadaran untuk berusaha menyerap ilmu baru dari siapa saja, karena
ada banyak hal tidak bisa kita cari sendirian.
Antusiasme saya berbuah manis. Meski saya salah satu yang kerap
diteriaki pelatih sebab salah berkali-kali, saya terpilih untuk mewakili
provinsi dalam seleksi event nasional. Saya tak ambil pusing memikir sebab terpilih
itu, namun Pak Pelatih tampak tidak terkejut. Pandangan mesti tetap keatas,
kepada figur teman-teman yang lebih veteran dibanding saya yang pemula dan
awam.
“Nak, kesini sebentar ya...”
Tiba-tiba pelatih baru yang akan melatih saya sebulan kedepan
memanggil saya dan satu orang siswi lainnya menuju tepi lapangan usai hasil
seleksi diumumkan. Deg!
Kami duduk selonjor demi pelemasan otot kaki sedang beliau duduk
beberapa senti lebih tinggi. Mulai bicara pelan dengan mengherankan. Padahal
imej beliau dikenal galak.
“Nak, begini... Eventnya kan tidak lama lagi. Waktu latihan kita
hanya satu bulan, maka harus extra all out.” Mulai beliau. Kami manggut
mengerti. Beliau meneruskan, “Hmm, dengan pakaian kalian yang seperti ini sayangnya saya merasa
akan menghambat kalian untuk maksimal dalam latihan. Kalian butuh pakaian yang
ringan dan membuat lebih luwes bergerak.”
Deg! Kami saling pandang, baru sadar bahwa diantara semua yang
terseleksi hanya kami yang memakai hijab dan pakaian panjang. Lalu?
“Kalian lihat Ibu yang disana itu?” tanya Pak Pelatih menunjuk
salah satu pelatih lainnya.
“Beliau itu guru di sekolah A. Sehari-hari mengajar di kelas
dimanapun pakai hijab. Tapi ketika sudah masuk lapangan, beliau ganti dengan
pakaian yang sesuai untuk kelincahan gerak selama proses latihan. Kenapa?
Karena memang kebutuhannya seperti itu." Jelas Pak Pelatih.
Saya mulai paham arah pembicaraannya. Waktu itu saya baru saja
mengenakan hijab sekitar satu bulan lebih, kelas 2 SMP akhir tahun. Meski berhijab
merupakan keputusan sendiri, dijelaskan hal seperti tadi membuat goyah juga.
Akal saya ketika itu masih terlalu muda untuk menolak statement
masuk akal orang dewasa, lebih-lebih beliau adalah panutan dalam ranahnya. Akal
saya masih terlalu muda untuk punya idealisme berhijab yang konsisten dalam
satu bulan masa mengenakannya. Sehingga hal yang sebenarnya telah jelas mana
yang benarnya, membuat saya berpikir ulang. Impian-impian mulai berbisik.
“Saya tidak memaksa kalian untuk buka. Tapi saya tahu persis
bagaimana nanti proses latihannya. Karena tidak ingin menyusahkan kalian
kedepan, maka saya kasih solusi dari sekarang.” Ucap beliau menutup statementnya.
Hari beranjak senja. Kami pamit pada para pelatih setelah wejangan
singkat sebagai motivasi untuk seluruh peserta seleksi. Saya susul Nunu, yang
tadi dipanggil bersama saya.
“Kamu mau lepas?” tanya saya.
Sumber gambar : widiutami.com |
“Ya nggak lah, gak bakal boleh sama Ibukku. Kamu gimana? Lepas?”
tanyanya balik.
“Ngg... Ibuku udah bilang sih kalo pakai hijabnya nanti pas SMA aja
kaya Kakakku. Aku yang ngotot pingin sekarang.” Saya malah bercerita.
“Terus?”
“Menurutku yang dibilang pelatih ada benernya juga sih. Mau lompat
tinggi mesti pake pakaian dan sepatu super ringan kan ya.” Ujar saya
bertele-tele.
“Jadi kamu mau lepas? Ya terserah kamu sih...” Nunu menyimpulkan.
“Mm, boleh gak ya sama keluargaku?” saya bergumam tanya yang tentu
tak dapat dijawab oleh Nunu. Kami pun berlalu dan pulang ke rumah
masing-masing.
***
Sudah saya duga. Tak ada yang setuju ketika mendiskusikan hal ini bersama
Ayah dan Ibu.
“Tapi Yah, Bu. Ini kesempatan terakhir Uma buat aktif voli di SMP
biar bisa masuk SMA favorit jalur prestasi. Tahun depan gak ada event buat
kelas akhir. Trus kapan lagi coba keluar kota biayanya disponsori alias gratis
begini? Trus kapan lagi Uma punya kesempatan kenal teman-teman dari seluruh
Indonesia?” Saya mulai menyuarakan bisik-bisik impian saya.
Saya merasa bahwa inilah
kesempatan saya untuk melihat dan mengenal dengan mata kepala saya sendiri akan
luasnya dunia seperti dalam semua buku dan majalah yang saya candu baca.
Seperti dalam cerita orang-orang rantau yang berkelana.
Saat itu tahun 2012. Tidak
banyak yang pakai hijab pada masa itu terlebih di kalangan siswi SMP. Maka Ayah
dan Ibu akhirnya membolehkan, dengan syarat hanya ketika di lapangan demi
kepentingan latihan persiapan. Tak tega menahan cita putrinya untuk meluaskan
pandangan akan dunia. Tak tega biarkan haus saya akan pengalaman ditepis
selembar kain penutup kepala.
Yah, begitulah logika saya
ketika itu.
***
Hari pertama sang awam
berlatih bersama para profesional. Kami berpasangan untuk melakukan
teknik passing. Karena jumlah seluruhnya ganjil maka kelompok kami
sisa tiga orang. Berhadapan saya satu dan di depan ada dua orang.
Reflek saya cukup terlatih
dalam teknik passing ini karena biasa berada di posisi tengah
dalam tim atau biasa disebut libiro di klub. Libiro biasa
menerima bola-bola keras dan tidak terduga dari lawan untuk kemudian
mengembalikan bola dengan baik ketika dioper sesama tim.
Antusiasme membuat saya
begitu agresif menerima bola-bola liar yang dioper. Sampai pada saat bola
teraih paksa dengan posisi kaki yang terlambat kuda-kuda.
Krekk!!
Itu bukan bunyi tulang
rawan ayam yang dikunyah. Itu suara pergelangan kaki kanan saya yang terkilir
dan jatuh menyamping diatas permukaan keras lapangan. Saya meringis menahan
sakit. Dan semakin sakit berhari-hari berikutnya sehingga tak bisa ikut latihan
ekstra selain bergeming di sisi lapangan memandangi perkembangan teman-teman
yang meningkat pesat hari ke hari.
***
“Mana Nu? Coba kulihat
foto-fotomu disana.” Sambut saya pada Nunu yang baru saja pulang dari
event tersebut. Saya tak ikut serta menjemput impian kesana atas saran dari
pelatih untuk istirahat. Sedih masih hinggap.
Namun seketika saya berubah
pikiran begitu melihat seragam tim kami ketika bertanding. Sangat terbuka di
bagian bawah dan atasan yang ketat. Nunu pun mesti memakai legging yang
membentuk kakinya meski tetap berhijab. Dalam hati saya bersyukur, tak serta
merta ikut mengalami pengalaman ditonton ribuan orang dengan pakaian minim
tersebut.
Semenjak itu saya berjanji
pada diri sendiri, tak akan melepas hijab ini untuk alasan apapun. Saya pun
mulai memperbanyak wawasan keislaman dan kemuslimahan lewat buku-buku dan
majalah. Kemudian fokus pada akademis sambil sesekali ikut latihan.
Lalu Allah menggerakkan
saya untuk googling dan browsing sebuah
lembaga pendidikan yang tidak umum di lingkungan saya. Lembaga bernama
Pesantren. Tahun 2013, salah seorang dari alumni pesantren yang saya incar
merilis film berjudul Negeri 5 Menara. Persis ketika menjelang masa SMP selesai
dan menambah keyakinan saya untuk merantau kesana yang terletak di sebuah kota
kecil di Jawa Timur.
Dari ribuan peserta saya
dihadiahi Allah kelulusan yang baik tanpa kurang suatu apa. Saya pun mendapati
impian lama saya terwujud kembali di ranah yang tak pernah saya duga sebelumnya.
Yaitu impian bertemu teman-teman dari seluruh Indonesia, bahkan luar negeri
seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan lain-lain. Dan bukan lagi sekedar
kenal namun juga telah menjadi keluarga.
Seolah-olah Allah menjawab
saya yang kerap menyebut impian demi impian dalam doa.
“Jika maumu seperti ini,
bukan jalan yang ini, tapi lewatilah jalan yang ini.”
Begitulah saya merasa.
Bahwa jangan-jangan, jalan yang kita hendaki untuk ditapaki selama ini adalah
bentuk kerawanan. Sehingga Allah kirimkan bala itu di pertengahan jalan agar
kita dibuat mundur beberapa langkah ke belakang. Menuju jalan lainnya. Berbalik
dini agar terhindar dari ketidaksesuaian yang lebih besar dan merepotkan di
ujung jalan.
Namun tidak serta merta
jalan rawan yang dilalui itu tanpa pelajaran atau manfaat apapun. Ialah tempaan
dini agar kita lebih siap lagi di ranah selanjutnya dengan pendidikan-pendidikan
mental yang filofis dan tersirat.
Itulah mengapa kita bisa belajar dari pengalaman manapun. Tidak ada sesuatu yang benar-benar buruk di dunia ini asal kita dapat memaknai dan selalu mengambil pelajaran.
Punya kenalan seIndonesia memang jadi impian terbesar kala itu. Bahkan yang utama dari segala hal yang saya geluti. Punya banyak teman. Dari kecil saya tak pernah melewatkan baca rubrik Apa Kabar Bo di majalah Bobo. Saya bahkan punya beberapa sahabat pena dari beberapa daerah di Indonesia. Bertukar wawasan yang tak saya dapati di zone saya. Tapi baru hanya lewat pena.
Oleh: Rumaisha Putri
Editor: Deany Januarta Putra
Belum ada Komentar untuk "Antara Jalan Cita atau Sekedar Perantara"
Posting Komentar