Memuji Keterpurukan Bangsa

Rumaisha Putri - Pemikiran

haidunia.com - Kemana rasa aman? Kemana tentram?
Apakah Indonesia tak berhak mendapat anugerah kejayaan dan kesejahteraan dalam jangka waktu panjang sebagaimana negara-negara lainnya?

Sumber foto: IG @cradyaputra
Jika pertanyaan ini mewakili benak semua orang, maka saya tanyakan kembali pada anda.
Cukupkah 74 tahun merdeka membayar belenggu derita 3,5 abad?
Pertanyaan ini terdengar pesimis. Namun kekuatan waktu memang menentukan mental dan kedewasaan bernegara suatu penduduk negara. Semakin lama waktu berjalan, akan semakin banyak huru-hara, semakin banyak peristiwa, semakin banyak jumlah terkorban. Dan akan semakin berpikir keras pula para pemimpin negara untuk solusinya.
Terbatasnya umur manusia memaksa mereka untuk memahami situasi lewat sejarah. Mari kita refleksikan kerumitan sejarah itu dengan cara yang mudah dan sederhana saja.
Segala sumber daya bangsa kita diperas habis-habisan di masa kolonialisme.

Bagi penduduk Nusantara kala itu, jangankan mengusahakan kehidupan yang mapan, mereka mesti rela harga diri terkoyak dan raga berdarah-darah demi sandang, pangan, dan papan. Tak punya hak milik, atau punya namun tak punya kewenangan atas milik sendiri. Kalangan menengah mengabdi pada kolonial demi menghidupi keluarga, namun tak sempat menolong sesama bangsanya.

Sumber foto: IG @cradyaputra
Para ayah lelah tak terkira, tangis lapar anak-anak membuat para ibu kehabisan cara menenangkan ronta. Sikap mereka dalam menghadapi ujian ini pun beragam.
Ada yang terang-terangan melawan membela harkat martabat lalu berakhir naas. Ada yang berdiri tegar menerima sembari menyusun rencana. Ada yang merendah dan bekerja keras demi kelanggengan penghasilannya. Ada yang berharap agar dapat mati pada hari itu juga. Ada yang penuh harapan kebebasan dan terus belajar lewat jalan pendidikan dan ulama. Lalu ada pula pengabdi kolonial pengkhianat bangsa demi keamanan nasibnya.

Maka dibawah tekanan penjajahan nan terhina selama berabad-abad, menjadikan bangsa kita didera rasa rendah diri. Tidak mudah bagi bangsa Indonesia untuk menumbuhkan rasa percaya pada kekuatan tersembunyi yang mereka miliki.
Saya mengatakan tidak mudah bukan lantas kejayaan Indonesia mustahil adanya.
Pada 1927-1950, Tiongkok pernah dilanda perang saudara mematikan. Akibat perang saudara ini, lebih dari delapan juta orang tewas.

Lima puluh tahun silam, Korea Selatan (Korsel) adalah negeri miskin yang tak diperhitungkan dunia dikarenakan peperangan dan beragam konflik. Tapi kini berhasil merajai pasar global. Invasi budayanya menyebar luas ke berbagai penjuru dunia. Kemajuan teknologinya sejajar dengan negara-negara maju.
Pada dekade 1920-an, negara adidaya seperti Amerika Serikat pernah mengalami krisis perekonomian yang disebut masa Depresi Besar (The Great Depression). Sejarah kelam tersebut berlangsung selama 10 tahun, mulai dari 1929 sampai 1939.
Sumber foto: IG @cradyaputra
Percayalah, masa kelam itu pun sedang menuntun kita menuju jalan benderang. Bangsa ini tidak berjalan mundur. Kini, isu kenegaraan mulai menjadi topik hangat kalangan berbagai usia. Mereka merasakan hal serupa.
Buktinya, semua mencoba bersuara dengan masing-masing caranya. Demonstrasi dimana-mana menunjukkan bahwa masyarakat tiba di titik keresahan, namun tetap optimis dengan kesejahteraan Indonesia.

Saya seorang pengajar anak-anak berbagai tingkat. Mulai dari usia Sekolah Dasar hingga SMA. Di usia remaja tersebut politik justru menjadi hiburan tersendiri bagi mereka, sembari berlomba menjagokan pilihannya dalam pemilu. Padahal mereka belum sampai pada usia pemilih.
Inilah situasi yang mengharuskan untuk pasang mata dan telinga sebelum bicara. Untuk membaca situasi sebelum beropini. Untuk menyimak data sebelum debat kata. Untuk bijak mengelola pancaindra.

Saya melihat seorang remaja SMA usia 16 tahun tengah menyimak video suasana demonstrasi baru-baru ini. Lalu saya tanyakan padanya,
“Kamu sama temen-temen update politik juga yah?”
“Iya Us, akhir-akhir ini di kelas pada ngobrolin masalah-masalah itu.” Jawabnya.
Sedangkan jika saya menilik sendiri saat saya (atau generasi kita) ketika seusia mereka masih berpikir bahwa politik hanyalah konsumsi orangtua. Materi kewarganegaraan menjadi subjek paling membosankan di sekolah.

Masyarakat semakin cerdas beropini, nasionalisme mengental, semakin kritis menilai, semakin kreatifnya pengemasan berita dan pemuda-pemuda yang semakin antusias akan situasi terkini Indonesia. Meskipun terbelah perbedaan, kesemuanya tetap merupakan suatu kebanggaan. Pertanda adanya gerakan. Karena kalau mereka sudah berhenti bersuara, tamat sudah.

Dan tak akan terjadi tanpa konflik bertubi.
Maka ketimbang mencerca bala, ada baiknya untuk sabar menghadapi prosesnya. Tetap terus cari tahu kebenaran itu sembari menanam dan menuai usaha semampu kita mengisi kemerdekaan ini.
Niatkan apa yang kita perjuangkan hari ini adalah untuk generasi-generasi setelah kita. Sebagaimana generasi pendahulu memperjuangkan masa depan kita dengan apapun yang mereka punya.


Sumber foto: IG @cradyaputra
Indonesia kini tak lagi buta, ada kepedulian, ada keprihatinan, ada semangat membara untuk perubahan dan ada penguat langkah kaki lewat solidaritas dan persatuan.
Umur kita yang tak panjang mari optimalkan dengan potensi apapun yang bisa kita sumbangkan. Lalu biarkan waktu yang menentukan sisanya. Bangsa ini masih dan akan terus bergerak menuju kejayaan lewat mereka yang tidak kehilangan harapan akan tegaknya kebenaran di negeri ini.

Seberapa jauh kita melangkah dalam terang?
Seberapa dalam kita menyelam dalam gelap?
Apakah cahaya yang menuntunmu?
Atau gelap yang mengajarimu?

Oleh: Rumaisha Putri
Editor: Deany Januarta Putra

Mau berlangganan artikel terbaru dari HaiDunia.Com ? Silahkan masukkan email kamu dibawah ini ya:

Belum ada Komentar untuk "Memuji Keterpurukan Bangsa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel